Nama
Pulau Flores mulanya berasal dari bahasa Portugis “Cabo de Flores” yang
berarti “Tanjung Bunga”. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot
untuk menyebut wilayah paling timur dari pulau Flores. Nama ini kemudian
dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad
ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan flora yang dikandung oleh
pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao
(1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang
artinya Pulau Ular. Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat
karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual
masyarakat Flores.
Sejarah
kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh
berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir
eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu
lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota
masyarakatnya secara utuh (Barlow,1989;Taum,1997b). Heterogenitas
penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat
dan pandangan dunia.
Suku bangsa Flores dianggap merupakan percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan Portugis. Dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan Timor, yang pernah menjadi Koloni Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis pernah terjadi dalam kebudayaan Flores, baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.