Flores Post - Letaknya tak terlihat dari keramaian dengan pegunungan hujan tropis dan lembah hijau yang mendekap hangat dusun ini. Adalah Wae Rebo,
sebuah dusun yang menjadi satu-satunya tempat mempertahankan sisa
arsitektur adat budaya Manggarai yang semakin hari semakin terancam
ditinggalkan pengikutnya. Mengapa berbentuk kerucut dan dari mana asal
muasalnya masih sebuah tanda tanya besar, kecuali secuil informasi dari
tradisi penuturan masyarakatnya sendiri yang merupakan generasi ke-18.
Wae Rebo berada di Kabupaten Manggarai, tepatnya di Kecamatan
Satarmese Barat, Desa Satar Lenda. Di sini, satu desa dengan desa yang
lainnya jauh terpisah lembah yang menganga di antara bukit-bukit yang
berkerudung kabut di ujung pohonnya. Dusun Wae Rebo begitu terpencil
sehingga warga desa di satu kecamatan masih banyak yang tak mengenal
keberadaan dusun ini. Seperti Kampung Denge, desa terdekat ke Wae Rebo
belum seutuhnya menjadi desa tetangga karena belum semua pernah ke Wae
Rebo.
Sementara warga Belanda, Perancis, Jerman, hingga Amerika dan
beberapa negara Asia sudah sangat terperangah keindahan kampung yang
rumahnya seperti payung berbahan daun lontar atau rumbia yang disebut mbaru niang.
Mbaru niang sudah punah sebelum memasuki awal tahun 70-an
saat pemerintah mengkampanyekan perpindahan masyarakat pegunungan ke
dataran rendah. Seorang antropolog, Catherine Allerton mengenang
pembicaraannya dengan tu’a golo, pemimpin politik dan kepala kampung, juga tu’a gendang,
kepala upacara adat. Warga Wae Rebo saat itu tak memutuskan
meninggalkan dusunnya. Sudah generasi ke-18 hingga kini Wae Rebo
bertahan dari seorang penghuni pertama dan pendiri Wae Rebo lebih dari
100 tahun lalu, Empo Maro.
Diramu dengan bersumber dari catatan perjalanan Leonardus Nyoman,
Martinus Anggo, dan hasil penelitian antropolog, Catherine Allerton.
Sumber: indonesia.travel