Tidak bisa
dielakkan, karut marut negeri kita membuat banyak orang menjadi pesimis, krisis
kepercayaan, berprasangka buruk, dan banyak hal buruk lainnya. Mencari siapa
yang salah? Tidak saatnya lagi. Sekarang, bagaimana membalikkan keadaan yang
sudah karut marut ini? Ini menjadi PR (baca: Pekerjaan Rumah) kita bersama.
Kalau sudah
menjadi PR, harus diselesaikan, kalau tidak, ada sanksinya. Masih abstrak
kiranya jika kita disuruh membalikkan keadaan itu. Sehingga setiap orang tidak
tahu bagaimana menyelesaikan PR itu. Kalau sudah tidak tahu, maka pasti akan
malas mengerjakannya. Dan pada akhirnya akan mendapat sanksi, sanksinya: akan
tetap hidup pada negeri yang karut marut.
Jadi, bagaimana
seharusnya mengerjakan PR itu? Memang melalui tulisannya di salah satu harian
nasional, Bapak Joko Widodo sebelum jadi Presiden telah memperkenalkan revolusi
mental untuk kita. Secara singkat, beginilah penulis menerjemahkan ide besar
dari beliau; Relakah kita untuk antri dilayani walau petugas yang sedang
bertugas adalah keluarga atau kenalan kita? Siapkah kita untuk memberikan
pelayanan yang sama, baik kepada kenalan atau keluarga dan kepada yang bukan
keluarga atau yang bukan kita kenal? Lebih lanjut lagi, siapkah kita untuk
lebih lama mengantri karna tidak memberikan uang pelicin?, dan maukah kita
mengerjakan tugas kita tanpa mengharapkan uang pelicin? Memang semua berpusat
pada mental. Pada awalnya kita akan dibenci oleh keluarga atau kenalan kita
sendiri, namun lambat tapi pasti, penulis yakin mereka akan berbalik memuji
perilaku itu.
Semua itu akan
terlaksana dari niat baik kita. Mari memulai dari diri kita sendiri dan
kemudian menularkannya kepada orang lain. Mari kita menggunakan hati nurani
kita. Kalau selama ini kita mendiamkan hati nurani kita karna kenyamanan pribadi
kita, mari sekarang kita biarkan dulu hati nurani kita yang berbicara. Hati
nurani akan membawa kita kepada ha-hal yang baik, karna yang dibicarakan hati
nurani adalah hanya hal-hal yang baik.
Kita sendiri
sedang sakit, negara kita sedang sakit. Semua yang kita simak di atas bagaikan
orang sakit mengobati yang sakit. Maka perlu waktu yang lama dan tekad yang
bulat untuk menyembuhkannya. Sepintas, kita akan berpikir bahwa keadaan yang
lebih baik tidak akan mungkin terwujud. Bagaimana mungkin si sakit mengobati
yang sakit? Namun, tidakkah kita sudah pernah melalui masa-masa gelap kita di masa
yang lalu, lebih dari 350 tahun kita dijajah, namun karna tekad dan semangat
ingin keluar dari kegelapan itu, kemudian para founding fathers kita menyatukan persepsi untuk keluar dari
kegelapan itu, seiring, berjalan menuju
masa depan penuh cahaya. Kita sudah buktikan itu semua. Puncaknya tampak pada
tanggal 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan presiden
pertama kita, Bapak Ir. Soekarno.
Kita adalah
bangsa yang kuat, kita punya kekayaan alam yang melimpah, sumber manusia yang
tidak usah diragukan lagi, hanya, adakah niat kita untuk berubah, mengubah mindset kita selama ini, yang hanyut
dengan kenikmatan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain, kenikmatan sesaat
yang tidak memikirkan masa depan anak cucu kita.
Pada prosesnya
akan banyak tantangan, apalagi dengan keadaan diri kita sendiri yang sedang
sakit, akan semakin berat tantangannya. Namun, mari kita yakinkan sekali lagi
diri kita, bahwa dengan membiarkan hati nurani kita berbicara, hidup kita akan
jauh lebih baik dari keadaan yang sekarang.
Pada tahun 2018
masyarkat Nusa Tenggara Timur (NTT) akan memilih pelayan daerah (baca: Gubernur
dan Wakil Gubernur NTT). Apa yang perlu kita lakukan adalah mengawal segala
tahapan yang akan dilaksanakan hingga semua terlaksana dengan tertib dan damai.
Mari gunakan hak pilih yang sudah diberikan kepada kita dengan sebaik-baiknya,
setidaknya demi kualitas demokrasi yang lebih baik, dan itu bisa kiranya
mengurangi kemungkinan kecurangan-kecurangan yang dapat disengaja. Mungkin
perlu kita mengingat lagi perkataan mantan presiden Amerika Serikat, John
Fitzgerald Kennedy, “Ask: not what your
country can do for you, ask what you can do for your country.” Jangan tanyakan
apa yang negara berikan untukmu, tapi tanyalah apa yang boleh kamu perbuat
untuk negara.
Setelah kita
memantapkan hati untuk ikut memberikan suara kita, mari kemudian beri
kesempatan hati nurani kita bersuara untuk pemilihan itu. Janganlah kiranya
kita memilih karena dia adalah keluargaku, satu agamaku, satu sukuku dan banyak
satu – satu yang lain yang sejenis. Jika
diperlukan untuk berkontemplasi, berkontemplasilah untuk membuat hati nurani
kita bisa berbicara lagi hingga mengelurakan suaranya, karna mungkin selama ini
secara sadar atau tidak sadar kita sudah memotong lidanya. Maka akan
terpilihlah kepala daerah yang benar-benar mengorbankan kenikmatan diri
sendiri, yang akan mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi,
keluarga, dan kelompoknya. Maka betul-lah pemimpin itu adalah pelayan. Pemimpin
yang benar-benar memimpin. Karna memimpin adalah melayanai. Semoga demi bonum commune, hati nurani Kepala Daerah
yag terpilih nanti juga selalu tak henti-hentinya berteriak untuk masa depan
Indonesia pada umumnya dan daerah kita secara khusus, untuk senantiasa
bercahaya.
Oleh:
Tomson Sabungan Silalahi
*Pengurus Pusat PMKRI Periode
2016-2018
Jakarta, 14 Juni 2016